Pengangkatan Guru Besar: Dosen Teknik Biomedis UNAIR Dorong Inovasi Teknologi Diagnostik Berbasis Impedansi

Universitas Airlangga (UNAIR) kembali menambah deretan guru besarnya dengan mengukuhkan Prof. Dr. Khusnul Ain, S.T., M.Si, Dosen Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi (FST), sebagai guru besar di bidang Tomografi dan Spektroskopi Impedansi Elektrik. Acara pengukuhan tersebut dilaksanakan pada Rabu, 18 Desember 2024, di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR.
Dalam pidato ilmiahnya yang berjudul Metode Spektroskopi dan Tomografi Impedansi Elektrik untuk Diagnosis Biomedis Non-Invasif Berbiaya Rendah, Prof. Khusnul Ain memaparkan inovasi teknologi berbasis impedansi yang dinilai sangat menjanjikan dalam bidang biomedis. Teknologi ini dianggap sebagai solusi atas persoalan ketergantungan Indonesia terhadap alat-alat diagnostik kesehatan impor.
Ketergantungan pada perangkat seperti CT scan, MRI, dan USG menyebabkan mahalnya biaya layanan medis serta menumpuknya antrean pasien BPJS. Hal ini mencerminkan lemahnya riset domestik dalam mengembangkan komponen penting, khususnya sumber dan sensor dalam sistem pencitraan medis.
Melihat kondisi tersebut, dibutuhkan kemandirian dan ketahanan dalam pengembangan alat kesehatan nasional. Salah satunya melalui teknologi pencitraan berbasis modalitas yang memanfaatkan sumber dan sensor lokal, yang memiliki berbagai keunggulan dibandingkan metode pencitraan lainnya.
Teknologi pencitraan berbasis modalitas yang dikembangkan sebagai alternatif alat diagnostik impor dikenal dengan sebutan Electrical Impedance Tomography (EIT) dan Electrical Impedance Spectroscopy (EIS). EIT adalah metode pencitraan yang menyajikan distribusi impedansi listrik dari jaringan tubuh dalam bentuk visual atau citra.
“Alat EIT ini ke depannya dapat dimanfaatkan untuk skrining kanker paru-paru dan kanker payudara, serta pemantauan fungsi paru, deteksi keberadaan tumor, dan pemantauan aktivitas otak,” ungkapnya.
Berbeda dengan EIT, EIS berfungsi sebagai teknik untuk menganalisis karakteristik kelistrikan dari jaringan biologis. Teknologi ini bekerja dengan mengukur respons impedansi akibat arus listrik yang dialirkan dalam berbagai frekuensi, menggunakan arus sinusoidal berfrekuensi rendah yang kemudian diikuti dengan pencatatan tegangan yang timbul.
“Penerapan EIS telah meliputi berbagai bidang, seperti impedansi kardiografi, pengukuran kadar lemak tubuh, membedakan jenis kanker payudara antara yang ganas dan jinak, mendeteksi perbedaan antara lesi kulit normal dan abnormal, memantau kontraksi dan relaksasi otot, serta mengevaluasi kondisi jaringan paru-paru seperti neoplasma, fibrosis, dan emfisema. Teknologi ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi kanker kepala dan leher,” jelas Prof. Khusnul Ain.
Dengan berbagai keunggulan dibandingkan modalitas pencitraan lainnya, teknologi EIT dan EIS memiliki potensi luas dalam aplikasi biomedis, terutama dalam pemetaan karakteristik jaringan dan deteksi kanker. Selain itu, EIT juga dapat digunakan untuk memantau tekanan darah, kondisi hemodinamik, serta fungsi paru-paru.
“Penelitian di bidang EIT dan EIS menawarkan tantangan yang cukup kompleks, baik dari sisi teknis maupun klinis. Untuk memperluas pemanfaatannya di dunia medis, perlu diperhatikan aspek-aspek penting seperti keamanan, kenyamanan pasien, dan validitas secara klinis,” jelasnya.
Ketergantungan Indonesia terhadap alat pencitraan medis impor seperti CT-Scan dan MRI dapat ditekan melalui pengembangan teknologi diagnostik alternatif. EIT dan EIS, sebagai teknologi berbasis impedansi, memiliki peluang besar untuk dikembangkan karena kelebihannya yang non-invasif, berbiaya rendah, mudah dibawa, serta mampu melakukan deteksi dini. Karakteristik ini menjadikan teknologi tersebut sebagai solusi yang efisien dan ekonomis di bidang biomedis, sekaligus mendukung kemandirian dan ketahanan teknologi kesehatan dalam negeri.