Mata merupakan organ vital. Bagian mata yang sangat penting dalam menjaga mata ialah kornea. Kornea tersusun atas tiga lapisan yaitu epitel, stroma, dan endotel. Ketiganya tersusun oleh sel dan matriks ekstraselular yang banyak berisi protein. Kornea memiliki fungsi perlindungan, mencegah debu, benda asing serta sinar UV masuk ke dalam mata. Kerusakan kornea dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan.

Hingga saat ini kasus kebutaan di dunia selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Salah satu penyebab kebutaan ialah ulkus kornea akibat paparan bakteri, jamur, dan virus herpes. Kerusakan kornea ditangani dengan transplantasi atau dikenal dengan keratoplasti. Namun, cara ini masih ada kelemahan seperti penolakan dari tubuh pasien, jumlah pendonor yang sedikit, serta durasi penyembuhan yang lama. Untuk itu, dibutuhkan teknologi baru pengganti kornea yang memiliki sifat yang sesuai dengan kornea manusia dan juga tidak membutuhkan donor.

Bahan alami yang dapat digunakan untuk pengembangan kornea buatan adalah kolagen karena sifatnya yang biokompatibel, sehingga mengurangi potensi penolakan dari tubuh penerima donor. Kitosan yang merupakan turunan kitin dan banyak ditemukan pada hewan crustacea dapat memicu regenerasi dari kornea. Gliserol memberikan sifat anti-bakteri, anti-jamur, dan anti-virus sehingga dapat mengurangi penyebab ulkus kornea. Sementara itu, hydroxypropyl methylcellulose (HPMC) digunakan untuk menambah transparansi dari kornea.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah bahan kolagen-kitosan-HMPC beracun atau tidak melalui uji sitotoksisitas, apakah semua bahan menunjukkan gugus fungsi yang sesuai dan tidak terbentuk senyawa baru melalui uji gugus fungsi, ukuran pori biomaterial melalui uji morfologi, dan apakah bahan bersifat antibakteri melalui uji antibakteri. Kornea buatan disintesis dengan mencampurkan kolagen dan kitosan kedalam asam asetat. Kemudian ditambahkan gliserol hingga larutan homogen, dicetak, dan dikeringkan. Ada dua sampel yaitu sampel tanpa HPMC dan sampel dengan HPMC.

Dengan Fourier Transform InfraRed (FTIR), gugus fungsi bahan penyusun kornea buatan dapat diketahui secara pasti. Masing-masing bahan menyusun memiliki gugus khas yang dapat dideteksi sehingga menjadi acuan bahwa sintesis telah berhasil. Hasil FTIR menunjukkan gugus fungsi khas kitosan, yaitu hidroksil (O-H) pada bilangan gelombang 3427,2 cm-1, gugus -CH2 dan -CH3 pada 1458,23 cm-1, gugus C=O pada 1647,14 cm-1, gugus CO pada 1406,22 cm-1, serta gugus -COC pada 1044,22 cm-1.

Sementara gugus fungsi khas kolagen ditunjukkan dengan serapan -OH pada bilangan gelombang 3427,2 cm-1, gugus amida I pada 1647 cm-1, dan gugus amida II pada 1458,23 cm-1. Penambahan HPMC memunculkan serapan pada bilangan gelombang 2942,13 cm-1, 1647,14 cm-1, dan 1458,23 cm-1 yang masing-masing menujukkan gugus CH, C=O dan CC, serta CH2 dan C-CH3.

Segala zat asing yang akan diimplankan pada manusia harus melewati uji sitotoksisitas untuk memastikan implan tidak beracun bagi tubuh. Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT dan sel hepar Huh7it. Kornea buatan pada penelitian ini memiliki persentase sel hidup diatas 85%. Hal ini menunjukkan bahwa kornea buatan tidak bersifat toksik karena telah melebihi batas 50% sel hidup. Penambahan HPMC juga tidak berpengaruh terhadap persentase sel hidup.

Kornea buatan juga diidentifikasi keadaan permukaannya (morfologi) menggunakan instrumen Scanning Electron Microscopy (SEM). Uji morfologi ini bertujuan untuk melihat kualitas permukaan dan besar pori pada kornea buatan. Pori pada kornea berperan untuk mendukung proliferasi sel diantaranya jalur pembuluh darah dan nutrisi. Pada penelitian ini, sampel dengan HPMC memiliki besar pori yang lebih bervariasi dibandingkan dengan sampel tanpa HPMC yaitu masing-masing berkisar 68,37 µm dan 33,27 µm.

Diameter standar pori pada kornea yang berkisar 33- 38 nm untuk membran Desemen dan 88- 92 nm untuk membran anterior basemen. Biomaterial kornea tanpa HPMC telah sesuai dengan diameter pori standard membran desemet. Membran descemet merupakan jaringan tipis dan terkuat pada kornea. Membran ini terbuat dari kolagen dan berfungsi sebagai tempat bersandarnya sel-sel endotel sekaligus melindungi sel-sel tersebut dari infeksi serta cedera. Sedangkan biomaterial dengan HPMC masih memerlukan optimalisasi untuk  meningkatkan ukuran pori dari kornea buatan agar dapat sesuai dengan standard pori membran descemet atau epitel anterior basemen.

Salah satu penyebab ulkus kornea adalah bakteri sehingga kornea buatan harus memiliki sifat anti-bakteri. Sifat ini dapat dikonfirmasi menggunakan uji anti-bakteri dengan metode difusi Mueller Hinton Agar (MHA). Uji ini akan menghasilkan zona bening (zona inhibisi) antara sampel dan bakteri Sthaphylococcus aureus dan Escherichia colli. Jika diameter zona bening berukuran 20 mm maka daya hambat bakteri sampel sangat kuat, jika 10-20 mm berarti kuat, 5-10 mm berarti sedang, sementara di bawah 5 mm berarti lemah.

Berdasarkan uji anti-bakteri, seluruh sampel kornea buatan menunjukkan diameter zona bening diatas 10 mm sehingga dapat dikatakan sampel memiliki daya hambat bakteri yang kuat. Sifat ini ditunjang dengan penggunakan kitosan yang dapat membentuk gugus amina yang dapat merusak dinding sel bakteri (lisis). Kesimpulannya kolagen – kitosan – gliserol – HPMC dapat menjadi material untuk kornea buatan karena telah sesuai dengan sifat biokompatibilitas dan anti-bakteri kornea. (*)

Penulis: Prihartini Widiyanti

Informasi yang lebih mendetail dari tulisan ini dapat dilihat: https://www.researchgate.net/publication/334630620_Collagen-Chitosan-_Glycerol-HPMC_Composite_as_Cornea_Artificial_Candidate